Tunahan 4 Desember 2025 - Ketika murid libur, sebagian orang masih berpikir guru itu “ikut-ikutan libur.” Seakan-akan guru adalah mahluk mitologis yang tugasnya hanya muncul saat bel masuk berbunyi, lalu hilang ke dimensi lain ketika jam pelajaran selesai. Padahal, dalam dunia nyata dan menurut kacamata psikologi, guru adalah manusia—ya, betul, manusia—dengan otak, hati, dan kapasitas energi yang juga perlu diisi ulang.
Dalam filsafat, ada satu prinsip sederhana: “Yang terkuras harus diisi, yang tegang harus dilonggarkan.” Guru bukanlah robot tanpa emosi, dan kita tentu memahami bahwa ketenangan lahir dari pengelolaan diri yang bijak. Dan itulah alasan mengapa guru perlu libur ketika murid libur.
Dan ini beberapa alasannya ;
1. Guru juga butuh jeda dari “bising dalam sunyi”
Seorang guru mungkin tampak tenang di kelas, tetapi di dalam kepalanya sedang terjadi orkestra lengkap: memikirkan strategi pembelajaran, karakter tiap murid, perkembangan akademik, serta “misteri” mengapa pensil 2B selalu hilang.
Dalam sudut pandang Stoik, jiwa yang terlalu lama menahan beban tanpa hening akan kehilangan kejernihan.
Libur itu bukan malas. Libur adalah jeda agar guru dapat kembali melihat dunia dengan mata jernih.
Seperti kalimat Epictetus yang diadaptasi secara bebas :
“Orang yang tak pernah berhenti akan sulit menemukan arah.”
2. Karena energi mental bukan baterai borongan
Dalam psikologi, guru termasuk profesi dengan beban emosional tinggi. Bukan hanya mengajar, tetapi juga mendengar, memahami, menenangkan, memotivasi, dan kadang menjadi “detektif” sosial kecil-kecilan.
Stoik mengajarkan keadilan pada diri sendiri:
“Berikan pada tubuh dan pikiranmu apa yang memang menjadi haknya.”
Mengajar terus tanpa libur berarti mengabaikan hak dasar itu—dan akhirnya guru bekerja dalam keadaan “mode hemat energi”.
Percayalah, murid lebih bahagia jika gurunya mengajar dari hati yang utuh, bukan dari baterai 3%.
3. Agar guru tetap manusia, bukan legenda urban
Jika guru tak pernah libur, nanti akan muncul mitos:
“Guru itu nggak bisa capek.”
“Guru itu mesin pengetahuan.”
“Guru itu makanannya cuma RPP.”
Stoik menolak ilusi semacam ini. Mereka mengajarkan kejujuran terhadap realitas:
Manusia punya batas, dan itu bukan kelemahan, melainkan pengingat bahwa kita butuh keseimbangan.
Libur membuat guru kembali menjadi manusia biasa: yang bisa minum kopi tanpa buru-buru, menghela napas tanpa dikejar tugas, dan menikmati detik-detik sederhana tanpa memikirkan lembar kerja peserta didik.
4. Guru perlu ruang untuk memperbaiki diri, bukan hanya memperbaiki nilai siswa
Stoik berkata: “Sibukkan diri untuk memperbaiki diri, bukan untuk membuktikan diri.”
Libur adalah ruang pribadi untuk:
-
refleksi diri,
-
belajar hal baru,
-
memperbaiki cara mengajar,
-
atau sekadar merapikan pikiran yang tercerai-berai seperti spidol di ruang kelas.
Guru yang tak diberi waktu mengisi dirinya akan seperti gelas kosong yang dipaksa menuang. Mustahil.
5. Karena istirahat adalah bagian dari tanggung jawab
Lucu tetapi benar:
Banyak guru merasa bersalah ketika libur.
Padahal dari sudut pandang psikologi, istirahat bukan penghindaran, tapi tanggung jawab profesional.
Guru yang istirahat dengan cukup memiliki:
-
kesabaran lebih stabil,
-
emosi lebih terkendali,
-
kreativitas lebih segar,
-
dan kemampuan menyimak masalah siswa dengan lebih jernih.
Stoik menyebut ini sebagai “pengelolaan diri demi kebaikan bersama.”
Dan tentu saja, itu lebih baik daripada mengajar dalam keadaan “lelah tapi dipaksa senyum.”
6. Karena murid butuh guru yang kembali dalam mode terbaik, bukan mode bertahan hidup
Murid libur untuk menyegarkan pikiran, tumbuh, bermain, menikmati hidup.
Guru libur untuk alasan yang sama—supaya saat murid kembali ke sekolah, mereka bertemu guru yang:
-
lebih tenang,
-
lebih bijak,
-
lebih humoris,
-
dan tidak terlihat seperti karakter video game yang habis bar health-nya.
“Karena bahkan matahari pun terbenam setiap hari, masa guru tidak?”









