Assalamu'alaikum ...

🌟 SD Negeri 2 Tunahan – "Cerdas dalam Pikiran, Luhur dalam Perilaku" – Langkah Kecil Mengubah Masa Depan – Bersama SD Negeri 2 Tunahan, Mari Wujudkan Mimpi 🌟
Menu
SD Negeri 2 Tunahan

"Kado Termahal untuk Guru” Cerita Hari Guru Nasional 2025 – SD Negeri 2 Penuh Harapan



Pagi itu, halaman
SD Negeri 2 Penuh Harapan terasa berbeda, matahari belum berani muncul karena kedahuluan sama mendung, tapi suasananya terasa hangat, bukan karena sinar matahari, terlebih pagi yang mendung, tapi karena sesuatu yang lebih terasa: harapan. Murid-murid berbaris rapi, upacara bendera akan segera dimulai, beberapa bahkan masih menguap kecil, sementara para guru berdiri dengan wajah teduh seperti biasa.

Upacara bendera berlangsung seperti biasa, sampai akhirnya Pak Rahman, kepala sekolah yang terkenal suka bikin “jebakan”, melangkah ke mimbar pembina upacara.

“Anak-anakku semua,” katanya mengawali, “besok adalah Hari Guru Nasional 2025 dan HUT PGRI ke-80. Maka hari ini, Bapak ingin kalian mengingat satu hal penting.”

Murid-murid langsung pasang mode fokus.
Beberapa yang tadinya mengantuk, mendadak melek total.

“Coba kalian pikirkan,” lanjut Pak Rahman, “siapa bu guru yang paling berkesan bagi kalian. Ingat kebaikannya. Ingat jasanya.”

Seketika lapangan penuh bisik-bisik:


“Bu Sari itu kalau ngajar suka nyelipin pantun, tapi lucu kok.”
“Bu Ningsih yang kita ribut pun dia masih senyum, tapi takut sama buah coklat oval.”
“Bu Nisak itu adem banget. Dimarahin serasa dipeluk.”
“Bu Nana suka kucing. Kucing liar aja dia rawat, apalagi murid.”
“Bu Farida kalau nyanyi pas senam antara merdu dan lucu, tapi bikin semangat.”
“Bu Maulida marahnya galak, tapi 30 detik kemudian ketawa. Ikonik.”
“Kalo dipelototin Bu Maulida tuh… rasanya dosa lima tahun lalu keinget lagi.”

Pak Rahman menunggu hening kembali, lalu berkata tegas,

“Karena besok Hari Guru… Bapak minta kalian membawa kado.”

Hening total.
Bahkan ayam tetangga pun seperti ikut menahan napas.

“Kado yang mahal.”

Murid-murid mendadak panik.

Guru-guru pun ikut pensaran juga, katanya kemarin tidak boleh menerima kado karena itu gratifikasi, tapi hari ini kok...  guru-guru saling sikut kecil.


“Mahal? Mahal berapa?”
“Patungan, guys! Minimal dua ribu? Lima ribu?”
“Apa kita harus beli jam tangan emas?”
“Atau parfum? Parfum mahal sejuta, bro!”
“Bu Nana sukanya bunga mahal apa sih? Anggrek hitam?”
“Bu Farida kayaknya suka coklat Belgia.”
“Belgia dimana? Deket Kudus kah?”

Guru-guru di belakang hampir pecah tertawa.

Pak Rahman melanjutkan, semakin dramatis,
“Kalau sekadar kue, coklat, atau parcel… kami para guru sanggup beli sendiri.”

Murid-murid langsung syok massal.

“Hah?! Lah terus kita beli apa?!”
“Laptop??”
“iPhone 16 aja lah sekalian.”
“Astagfirullah…”

Melihat ekspresi yang seperti baru dapat pengumuman ujian dadakan, Pak Rahman tersenyum dan menurunkan suaranya.

“Anak-anakku… hadiah yang Bapak maksud, bukan barang.”

Murid-murid mengerutkan kening.

“Hadiah itu hanya kalian yang mampu memberi,” katanya lembut. “Yaitu… jadilah anak yang santun, hormat, dan berakhlak mulia—sesuai tagline sekolah kita: Cerdas dalam Pikiran, Luhur dalam Perilaku.”

Suasana mendadak hangat.

“Ketika kalian menyapa guru dan orang tua dengan sopan… itu hadiah.”
“Ketika kalian tidak membully, tidak mengejek… itu hadiah.”
“Ketika kalian jujur belajar… itu hadiah.”
“Ketika orang tuamu bangga padamu… itulah hadiah paling mahal.”

Beberapa guru tampak berkaca-kaca.

Lalu tangan kecil Aisyah dari kelas 3 teracung.
“Pak… berarti aku nggak usah beli boneka buat Bu Nana?”

Guru-guru meledak tawa.
Bu Nana tersenyum sambil berkata, “Enggak, Nak. Kamu rajin belajar aja cukup. Boneka nggak perlu.”

Tak lama, Doni kelas 5 mengangkat tangan.
“Pak… kalau saya mau kasih coklat buat Bu Sari, boleh nggak?”

Kali ini Bu Sari sendiri yang menjawab dengan senyum lembut.

“Tidak perlu, Nak,” katanya, “Ibu lebih suka kalau senyummu setiap hari… semanis coklat.

Barisan murid langsung heboh8.”


Keesokan Harinya...

Sejak pagi, SD Negeri 2 Penuh Harapan terasa seperti sekolah paling cerah sedunia.

Murid-murid datang lebih rapi.
Lebih sopan.
Lebih bersemangat.

Ada yang membawa kartu kecil buatan tangan.
Ada yang memberi bunga dari halaman rumah.
Ada yang hanya tersenyum dan mengucap “Selamat Hari Guru”—tapi itu sungguh terasa tulus.

Yang biasanya ribut, hari itu saling menenangkan.
Yang biasanya rebutan kursi, hari itu saling mempersilakan.
Yang biasanya lupa salam, hari itu berlomba-lomba memberi salam duluan.

Para guru berdiri di depan ruang guru, memperhatikan pemandangan indah itu.

Bu Farida menahan air mata.
Bu Nisak mengusap kepala muridnya penuh kasih.
Bu Nana memeluk murid yang membawa bunga.
Bu Maulida tertawa lebar.
Bu Ningsih mengangguk bangga.
Bu Sari tersenyum hangat pada setiap anak yang lewat.

Pak Rahman berdiri di tengah-tengah mereka.
Menghela napas haru.

“Ini…” katanya pelan, “inilah kado termahal itu.”

Bukan coklat.
Bukan hadiah mahal.
Bukan parcel.
Bukan barang apa pun.

Melainkan murid-murid yang tumbuh menjadi manusia santun, berakhlak, dan penuh hormat.

Itulah hadiah yang hanya dapat diberikan oleh anak-anak.
Dan itulah hadiah yang tak ternilai bagi seorang guru.


Hanya sebuah cerita yang diutak-atik selama perjalanan pulang di atas motor tua, kata-kata dirangkai sekenanya, namun itulah harapan kami sejujurnya KADO PALING ISTIMEWA di Hari Guru 2025 ini.


Terimakasih untuk yang sudah membaca, tinggalkan jejak dengan memberi komentar.


5 komentar